Kamis, 23 April 2009

Alquran, Kekuasaan dan Hegemoni Makna

Islam yang sumber intinya adalah Alqur'an bisa membawa rahmah, dan bisa juga mafsadah. Hal ini dikarenakan begitu umumnya (Amm/general) isi dari teks suci tersebut yang mau tak mau bisa dinterpretasikan secara berbeda. Karenanya, setelah nabi meninggal, perbedaan interpretasi pun lumrah terjadi. Salah satu kasus adalah ketika sang Khalifah Ula (baca: Abu bakar) menghadapi para pembangkang zakat. Beliau memilih untuk memerangi mereka, sementara shahabat lainnya semisal Umar, Usman, Ali dan Zubair tidak menyutujuinya. Tapi, karena Abu Bakar adalah khalifah, proses memerangi para mani'u al zakat tetap terlaksana. Otoritas yang dipunyai beliau membuat Ijtihad pribadi shahabat yang lain seakan tak berarti. Masalah perbedaan interpretasi terus berlanjut sampai masa tabi'in dan tabi'ihim terkait pandangan mereka menghadapi masalah-masalah yang belum pernah ada sebelumnya. Munculnya beraneka ragam madzhab fiqih, madzhab theologi dan madzhab tasawwuf adalah bukti nyata bahwa perbedaan itu niscaya. Hal itu pun berlanjut sampai masa dimana kita hidup sekarang ini. Asal kita berpedoman pada prinsip Rahmatan lil Alamin dan tidak memfungsikan diri sebagai "tuhan" dalam menghadapi perbedaan, saya kira semua akan berjalan on the track.

Tapi, Sejarah Islam tak berbicara demikian. Masalah penafsiran adalah masalah yang esensial, apalagi jika dikaitkan dengan urusan kekuasaan dan politik. Masih ingat dibenak kita, bagaimana rezim Umayyah dalam usaha melanggengkan kekuasaan dan cuci tangan atas kejahatan kemanusiaanya, berupaya menggunakan aliran teologi Jabbariyah dalam lingkar kekhalifahan. Aliran ini berpendapat bahwa segala tindakan manusia adalah berasal dari tuhan, karenanya manusia tidak punya andil atasnya. Karenanya, apa-apa yang dilakukan oleh semua orang bani Umayyah adalah urusan Tuhan dan tidak ada urusan pertanggungjawaban kepada rakyat. Kewajiban rakyat hanyalah taat, dan urusan kenegaraan adalah urusan Khalifah yang (dipilih) oleh tuhan. Juga, bagaimana perilaku orang-orang Abbasiyyah setelah merebut tampuk kekhalifahan dari dinasti Umayyah. Salah satunya, pembunuhan yang dilakukan oleh Abu Abbas al-shaffah kepada teman-temanya atas nama Islam. Tak hanya itu, makam orang-orang Umayah pun dibongkar dan tulang-tulang yang tersisa pun dihancurkan, atas nama Islam pula. Banyak nyawa melayang, pedang terhunus, darah mengalir atas nama agama ini di masa lampau.


Lantas, bagaimana sekarang?

Jika Islam di masukkan kedalam lingkup kekuasaan (misalkan dibuat Perda dan sejenisnya) maka akan timbul masalah. Antaranya hegemoni makna teks. Ini adalah masalah yang tidak sepele. Dan inilah masalah yang kita hadapi sekarang ini. Bayangkan jika ada seorang perempuan pengikut madzhab Syafi'i, tinggal di kawasan yang menerapkan madzhab Maliki. Akan timbul masalah besar ketika terjadi kasus perzinaan. Menurut Maliki, perbuatan zina dapat dibuktikan dengan kondisi hamil pada perempuan, sementara madzhab lain tidak mengakui metode itu. Perempuan penganut madzhab Syafi'I tersebut mau tak mau harus dirajam oleh penguasa setempat. Dan inilah kasus nyata di Nigeria Utara. Lantas, inikah Islam?. Juga, kasus di Arab Saudi, ketika tiba waktu sholat orang-orang dipaksa oleh pasukan bersenjata untuk shalat dalam masjid. Ini bukanlah ritual menyembah Tuhan, tapi menyembah seseorang bersenjata yang memaksanya. Lagi, bagaimana para perempuan dipaksa untuk berjilbab jika ia tidak mengakui kewajiban menutup kepala atau dia bukan muslimah?. Bagaimanapun juga Agama adalah masalah kesadaran, karenanya tidak ada paksaan dalam melakukannya. Dan memaksakan sesuatu kepada orang lain yang tidak sepaham bukanlah tindakan beragama. Itu bukanlah misi Islam. Tidak ada yang boleh melakukan penghegemonian atas makna yang dimiliki teks suci tersebut. Adalah rasional jika dikatakan bahwa tidak ada yang menjamin kebenaran atas interpretasi seseorang, dan tidak ada pula jaminan yang bisa menghukumi bahwa hal itu salah. Kebenaran mutlak hanya milik Tuhan. Al-Haqqu min robbika begitulah pesan Alquran. Juga Ud'u Ila Sabili Robbika bil Hikmah wal Mauidhoh al Hasanah.

Hegemoni makna juga terjadi diluar lingkar politik. Kasus di negeri ini, apabila ada segolongan orang berbeda interpretasi, ia bisa dianggap sesat, dikasari secara fisik bahkan tempat tinggalnya dihancurkan. Padahal, mereka dilindungi konstitusi dan dalil teks suci. Saya kira, Banyak diantara kita juga masih berfikiran bahwa hanya Islam dengan cara pandang dialah Islam yang benar. Hal inilah sebab inti dari berbagai kekerasan dan penyesatan yang terjadi. Ada hegemoni atas pemaknaan teks (baca: Alqur'an). Teks yang dipahami oleh sebagian orang lalu dipaksakan kebenarannya kepada orang lain yang memahaminya secara berbeda. Dan ketika usaha paksa itu tak diterima, maka adu fisiklah solusi terakhirnya. Seharusnya dalam memahami Alquran kita bisa bersikap dewasa dan kritis. Apa yang dikatakan oleh satu ulama, bukan berarti ia benar adanya. Begitu pula, meskipun Ulama-Ulama berkumpul dalam satu institusi, kemudian mereka berfatwa, belum tentu keputusan yang dihasilkan itu benar. Sayangnya, kebanyakan dari kita masih sering bertaklid buta.

Islam adalah agama yang berbasis kesadaran, bukan paksaan. Hegemoni makna teks bukanlah tindakan religius, apalagi jika memaksakannya kepada orang lain. Tengoklah Islam di Amerika Serikat. Pasca Tragedi 11 september, Islam justru menjadi agama yang paling cepat pertumbuhanyya. Ribuan orang berbondong-bondong masuk Islam, padahal baru saja "Islam" (sebagaimana yang dipahami kelompok ekstremis dengan cara pandang mereka yang radikal) menghancurkan negara mereka. Mereka bahkan mengatakan bahwa, penghancuran menara kembar WTC bukanlah tindakan ala Islam. Itu murni terrorisme yang dilakukan oleh orang yang kebetulan Muslim. Mereka (orang amerika) punya pandangan tersendiri dalam memahami Islam. Mereka masuk Islam tanpa paksaan. Mereka beralih agama karena kesadaran. Kesadaran adalah kunci dalam menjalankan Islam, bukan paksaan dan penyesatan. Dan inilah wajah islam yang kita harapkan hadir di bumi nusantara ini.

Penulis adalah pengurus PMII adab sekaligus Mahasiswa
Bahasa dan Sastra Inggris semester 4B

Minggu, 19 April 2009

49 tahun PMII, Kader dan Rakyat





Awal-awal.

Tujuh april yang lalu PMII baru saja merayakan hari lahirnya yang ke 49. Empat puluh sembilan tahun mengabdi untuk bangsa merupakan sebuah hal yang luar biasa. Dimulai dari tahun 1960, organisasi ini telah membuktikan kepada masyarakat luas lewat para mahasiswa yang menjadi kadernya di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia dalam melakukan perubahan sosial. Tercatat, lebih dari 180 cabang di seluruh indonesia yang dimiliki organisasi anak muda NU ini. Tak salah pula bila organisasi ini dianggap sangat penting dalam ranah organisasi kemahasiswaan Indonesia. Karenanya, sangat penting-di bulan yang merupakan waktu munculnya organ ini-untuk berintrospeksi sejenak untuk mengingat, merenung atau bahkan memikirkan kembali segala seluk beluk ke-PMII-an termasuk berbicara tentang bagaimana relasi PMII dengan kader dan rakyat selama ini.

PMII menggerakkan kader untuk membela rakyat.

PMII berhubungan erat dengan kader dan rakyat sebagai organisasi pergerakan. Kader adalah elemen terpenting dalam hal keorganisasian. Ia tak hanya menentukan keberlangsungan organ ini, tapi juga menentukan seberapa jauh keberperanananya dalam urusan kemahasiswaan dan kemasyarakatan. Sedangkan rakyat ( baca: kepentingannya) merupakan hal paling pokok yang diperjuangkan dan membuat organisasi ini eksis. Ketika PMII tidak punya signifikansi peran dalam urusan kemasyarakatan , berarti ada something goes wrong dengan para kadernya. begitu pula, ketika para kader tak lagi punya militansi dan ghiroh untuk bergerak, maka ada kerusakan mekanik pada elite organ ini, dan mau tak mau harus direparasi untuk perbaikan.

Masalah rakyat adalah masalah mahasiswa. Mahasiswa yang ideal bukanlah mahasiswa yang hanya mengejar nilai akademis semata, tapi adalah mereka yang juga mau berfikir dan bertindak untuk masyarakat dimana ia hidup. Ia tak sekedar mengejar tittle cumlaude, tapi lebih jauh ia adalah agent of social change. Ketika ada masalah yang dialami masyarakat, maka disanalah mahasiswa harus terjun berperan. Nah, mahasiswa dengan way of thinking yang demikian membutuhkan organisasi untuk mengembangkan dan memantapkan idealisme dan daya kritis mereka. Salah satu organ itu tentunya adalah PMII. Nah disinilah, ketiga konsep (PMII, rakyat dan kader) terhubung. PMII menelurkan banyak kader, dan para kader berjuang membela kepentingan rakyat yang sering dirugikan oleh pemerintah maupun kelompok mayoritas yang semena-mena. Sebagai sebuah organ dalam negara yang masih dalam status berkembang dengan kondisi demokrasi yang belum full consolidated, maka sangat mungkin timbul masalah dalam hal relasi sosial, entah rakyat dengan penguasa, ataupun mayoritas dengan minoritas dan signifikansi peran mahasiswa harus dimunculkan. Nah dalam aras ini, mahasiswa dituntut untuk jeli dan beranalisa kritis dalam melihat apa yang sedang terjadi. Isu-isu yang berkembang dalam masyarakat haruslah dijadikan pokok perhatian. Kader PMII harus mampu menganalisa peristiwa yang terjadi, kemudian menentukan sikap sesuai dengan visi misi dan ideologi ASWAJA. Tak hanya sekedar itu, para kader pun dituntut untuk turun ke lapangan memperjuangkan idealismenya. Bahkan, menjalin kerjasama dengan organ lain yang sepaham jika diperlukan aksi massive.

PMII merupakan organ dengan posisi yang strategis dan bisa bermanfaat sangat luas bagi masyarakat (baca: Rakyat) jikalau difungsikan dengan sungguh-sungguh. Hal itu disebabkan oleh tiga hal,

Pertama, Para kader PMII yang identitasnya adalah Mahasiswa merupakan elemen istimewa dalam masyarakat karena ia memperoleh pendidikan tingkat tertinggi sehingga menghasilkan pengetahuan dan wawasan yang luas yang bisa digunakan untuk leading. Mereka adalah "jembatan" antara penguasa dengan segala kebijakan yang ditelurkan dan rakyat yang menerima kebijakan itu. Maklum, penguasa kadang menggunakan logika yang ruwet dan bahasa yang elitis dalam memutuskan suatu kebijakan. Malah, kebijakan yang dibuat, justru merugikan rakyat dan membuat mereka makin sengsara. Karenanya dibutuhkan sebuah elemen yang mampu menengahi dan mengkritisi hal ini, dan itulah peran mahasiswa.

Kedua, Organ ini lahir dari rahim NU yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia dan berjasa besar dalam pendirian nation state ini, sehingga PMII tak perlu bersusah payah mencari jati diri dan mengembangkan imagenya sendiri. Yang paling penting, NU sudah trusted dalam hal komitmen kebangsaan, komitmen kepancasilaan dan komitmen untuk integritas Indonesia. Meskipun pada akhirnya memutuskan independensi, tapi tetap saja prinsip yang dianut NU dan tokoh-tokohnya menjadi basis segala tindakan organisasi ini, dan rujukan dalam memecahkan permasalahan.

Ketiga, Organ ini secara kelembagaan merujuk agama tertentu, yakni Islam, yang merupakan mayoritas di Indonesia. Posisi sebagai mayoritas yang dimiliki Islam kadang membuat sebagian pemeluknya (baca: Umat Islam kanan yang radikal/ekstrimis) mau menang sendiri dan semena-mena terhadap kelompok rakyat yang minoritas. Dalam kasus seperti ini, dan inilah yang sedang terjadi, Islam mendapatkan stigma buruk sebagai agama yang intoleran dan tidak demokratis, karena itu harus ada kritik dari internal Islam atas pemeluk Islam yang melakukan pelanggaran tersebut. Dengan hal ini, rakyat diluar Islam yang minoritas bisa mengetahui bahwa hal-hal diskriminatif maupun repressif yang ditujukan kepada mereka bukanlah atas nama Islam yang sebenarnya, tapi justru merupakan kejahatan berselubung agama yang bisa dipidanakan.

Karenanya, PMII harus menjadi garda terdepan dalam membela rakyat, dalam mengkritisi kebijakan pemerintah dan dalam menentang tindakan semena-mena yang dilakukan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas yang terdiskriminasikan dalam banyak hal.

Masalah Rakyat

Bila kita mau melihat "masalah rakyat" yang terjadi antara tahun 2008-2009, maka bisa disimpulkan bahwa kuantitasnya masih tinggi, entah hak sipil, hak politik, maupun hak sosial ekonomi. Namun yang paling mengiris hati tentunya adalah masalah keagamaan rakyat. Pembakaran rumah ibadah, penyerangan kelompok tertentu dan fatwa penyesatan merupakan hal yang jamak di tahun tersebut. Kelompok Islam tertentu menyerang sesamanya dengan justifikasi dalil agama, juga terhadap kelompok lain yang minoritas. Sesuatu yang dianggap maksiat diberantas sendiri tanpa menggunakan prosedur hukum yang berlaku. Mereka berkoar-koar bagaikan tuhan yang sedang menghakimi manusia. Kekerasan fisik adalah jawaban atas opini maupun wacana seseorang yang dianggap menyimpang. Islam yang katanya Rahmatan lil Alamin pun berubah menjadi Rahmah lijinsihim wa Mafsadah lighoirihim. Semua hal itu menimbulkan pertanyaan, Dimana posisi PMII sebagai garda pembela rakyat?

Salah satu visi keIslaman PMII adalah Islam yang Inklusif. Bila PMII serius menjalankan hal ini, masalah seperti di atas harusnya bisa dihindari. PMII haruslah mendiseminasi gagasan inklusivitasnya tak hanya kepada mahasiswa, tapi juga kepada masyarakat sekitar. Ketika para kader rajin berdialog, maka masyarakat adalah tempat dimana kita mensosialisasikan gagasan yang telah didiskusikan. PMII tidak boleh berdiam diri tanpa aksi melihat Islam yang diartikan eksklusif menghegemoni masyarakat kemudian mencekoki mereka dengan doktrin-doktrin yang membahayakan. Bila hal ini terus dibiarkan, masyarakat bisa digerakkan oleh mereka untuk melakukan aksi yang tak punya nilai religius. Lalu, visi kebangsaan PMII juga harus ditegaskan kepada publik ketika kondisi diatas terjadi. Pelanggaran hak keagamaan merupakan masalah serius yang tidak sesuai dengan visi kebangsaan yang ingin diwujudkan PMII, yakni (menciptakan) masyarakat yang demokratis dan toleran.

Di posisi inilah PMII harusnya berdiri. PMII mau tak mau harus terjun ke dalam masyarakat dalam memasarkan visinya. Masyarakat harus disadarkan bahwa kelompok lain yang tak sejenis bukanlah suatu hal yang sesat dan menyimpang sehingga mereka bisa dikasari secara fisik dan diusir. Bahkan, sebenarnya itu merupakan bukti keagungan Tuhan yang selayaknya dirayakan. Mereka pun harus diubah cara pandangnya, yakni bahwa kebenaran (al Haqq) merupakan sesuatu yang datang dari Tuhan dimana tak seorang pun manusia bisa mengklaimnya. PMII haruslah jadi kritikus dan protester pertama ketika rakyat mengalami masalah dan dipermasalahkan.

Ke depan, PMII harus benar-benar commited pada hal-hal diatas agar visi misi dan ideologi Aswaja terwujud di bumi nusantara.

Masalah Kader

Organisasi yang besar terbentuk oleh kader yang besar juga. Karenanya, PMII menjadi besar dikarenakan kader-kader terbaik mereka. Kaderisasi adalah mesin untuk survive atau tidaknya sebuah mesin penggerak perubahan masyarakat ini. Mapaba, PKD, PKL yang merupakan trademark organ ini adalah gerbang menuju kader ideal. Yang perlu diingat, dari pengkaderan jenis inilah tokoh-tokoh politik besar negeri ini lahir, juga ilmuwan sosial dan Ulama pemimpin bangsa.

Di level formal, kaderisasi organ ini sangat bagus. Sayangnya, follow upnya kurang. banyak kader yang setelah mengikuti satu level pengkaderan ,Mapaba misalkan, justru tak terurus dan tak tahu entah kemana. Para elite seakan tak mau tahu persoalan ini. Padahal, mereka telah menjadi kader PMII. Akibatnya, mereka seakan tak diayomi dan diberdayakan sehingga lari ke organ lain ataupun tetap di PMII tapi justru tak mengamalkan Aswajanya. Penulis kira masalah ini adalah masalah klasik yang belum terselesaikan yang juga hinggap di organ lain. Butuh jiwa besar untuk mengatasi hal ini dari para elite yakni dengan meninggalkan egoisme dalam menjalani urusan privasi. Yang tak kalah penting, konflik antar elite dan kader dalam PEMIRA seperti dalam tahun-tahun sebelumnya haruslah di hindari. Perlu ada aturan tegas yang harusnya ada di AD/ART tentang relasi politik antara PMII dan PPM. Selama ini, urusan ini seakan dibiarkan mengambang. Para elite sering mengadakan rapat di cabang tentang PPM, begitu pula, banyak dana kampanye yang datang dari para senior PMII, tapi tetap saja tidak pernah terdengar ada rule bahwa seluruh kader PMII harus memilih PPM. Akibatnya, banyak kader PMII yang justru memilih partai lain yang tak berideologi sama dengan organ ini, ataupun menjadi calon partai lain. Ketidakjelasan ini, menurut pribadi penulis, harus segera diakhiri. Status PPM harus ditegaskan. Tak benar jika dianalogikan bahwa PPM itu seperti PKB yang dibidani kelahirannya oleh NU. Ada perbedaan jauh yang perlu diuraikan, misalkan saja, PKB tak pernah mendapat dana dari NU soal kampanye, juga tak menggunakan fasilitas fisik yang dipunyai NU dalam acara pertemuan. Bukankah para kader yang tergabung dalam PPM memperjuangkan ideologi Aswaja ketika menjabat? Atau politik kampus dianggap sebatas proyek sehingga ditiadakanlah aturan main yang baku? Atau politik memang sangat kotor sehingga harus setengah ditinggalkan?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu menganggu fikiran penulis ketika masa-masa PEMIRA dimulai.

Akhir Kata

Di bulan yang istimewa ini, penulis merasa bangga bisa berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan para pengurus cabang. Utamanya lomba menulis karya tulis ini. Semoga pada tahun-tahun kedepan PMII semakin kentara dalam peranan kemasyarakatan, juga pembinaan kader yang semakin ekstensif. SELAMAT ULANG TAHUN KE 49 PMII. TANGAN TERKEPAL DAN MAJU KE MUKA!.

(Penulis adalah kader PMII KOMFAKA semester 4 BSI)