Rabu, 20 Juli 2016

Mengecam Pilkada lewat DPRD: Sikap

Persatuan Pelajar Indonesia di Australia cabang Australian Capital Territory (PPIA ACT) sangat menyesalkan dan mengecam pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPR.
Berdasarkan hasil kajian akademik soal pilkada langsung, PPIA ACT menyimpulkan terjadi pendidikan politik yang signifikan terhadap masyarakat Indonesia lewat pilkada langsung sejak 2005.
Pilkada langsung secara pasti telah membuat kepala daerah lebih bertanggung jawab terhadap masyarakat melalui aspek akuntabilitas vertikal yang terkandung di dalamnya.
"Saat ini pelembagaan partai politik di Indonesia belum mampu berperan sebagai salah satu pilar demokrasi secara efektif," ujar Ketua PPIA ACT, Shohib Essir, dalam siaran pers yang diterimaTribunnews.com, Jumat (3/10/2014).
Faktanya, imbuh Shohib, dominasi oligarki kuat dalam partai politik. Dengan pilkada langsung, rakyat menentukan sendiri pemimpinnya saat partai politik belum bisa menjadi saluran agregasi kepentingan yang akuntabel.
Karena itu, ujarnya, pemberlakuan kembali Pilkada oleh DPRD secara pasti mencabut hak konstitusional warga Negara untuk aktif dalam politik dengan memilih langsung pemimpinnya dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18 ayat (4) tentang kedaulatan rakyat.
PPIA ACT menilai problematisasi pilkada langsung apakah ide ‘nilai asli Indonesia’ atau ‘impor nilai Barat’ telah digunakan sebagai retorika untuk mengembalikan otoritarianisme.
Adapun penilaian ini diambil karena rezim Orde Baru menggunakan retorika yang persis sama untuk merepresi bangsa Indonesia selama 32 tahun.
Oleh karena itu, tindakan pemberlakuan pemilihan kepala daerah tidak langsung adalah contoh bagaimana kelompok oligarki dengan cara berpikir Orde Baru-nya ingin membajak demokratisasi di Indonesia.
Berdasarkan hal di atas, PPIA ACT berpendapat pemberlakuan kembali pilkada lewat DPRD kontraproduktif dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia yang berlangsung 16 tahun pascaruntuhnya rezim otoriter Orde Baru.
Melihat kondisi tersebut, PPIA ACT menyerukan menolak dan mengecam keras pemberlakuan kembali pilkada tidak langsung di Indonesia.
PPIA ACT juga mendukung upaya seluruh elemen masyarakat membatalkan pasal tersebut, termasuk melalui uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, PPIA ACT mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertanggungjawab atas kekisruhan ini dengan mengambil sikap tegas sebagai kepala Negara melalui keputusan politik resmi presiden.
*Link berita ini bisa dikunjungi di sini dan di sini. Pernyataan sikap resmi PPIA ACT 2014 bisa dilihat di laman ini.

2014 Election: Protecting the Minority


The presidential election this year is expected to elect leaders who will pay attention to the fate of the minorities. It was disclosed by Shohib Essir, President of the Indonesian-Australian Student Association (PPIA) Canberra to RRI correspondent in Australia. According to him, a number of Indonesian students in the Australian Capital Territory often hold forum to listen to the aspirations and share an overview of Indonesia's future leaders.
Issues on violence and the curtailment of the right to worship according to the people’s beliefs have recently emerged, causing concern among the Indonesian academicians. Therefore, they are looking forward to a leader who can fight and bring back the spirit of the nations’ motto Bhineka Tunggal Ika or “Unity in Diversity”.
"So the minority is really important. We wish that there will be no more violence to the minorities, no more banning on the place of worship; they can worship according to their beliefs. And this is in accordance with Indonesian motto of Unity in Diversity.”
While asked about the participation in the upcoming presidential election, Shohib Essir said the Indonesian students in Canberra are ready to succeed the election and the democratic process while hoping the next presidential election will be of good quality towards a dignified nation.
The original link can be seen in here and here

Pemilu 2014: Menolak Purifikasi Agama

TEMPO.COJakarta - Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia cabang Canberra, Shohib Essir, melihat adanya tendensi calon presiden yang dalam sikap politiknya mengakomodasi purifikasi agama. Menurut dia, kebijakan pemurnian ajaran agama adalah bentuk kontraproduktif bagi keberagaman Indonesia.

“Ada celah terjadinya persekusi (penghambatan) terhadap minoritas,” kata Shohib melalui pesan singkatnya pada Ahad, 18 Mei 2014.

Dia menjelaskna, dalam diskusi Jumat lalu, mahasiswa Indonesia dan luar negeri tersebut melontarkan kekhawatiran andai Prabowo Subianto terpilih dalam pemilu presiden mendatang. Aan Suryana, yang membahas disertasinya berjudul "Kekerasan Negara terhadap Minoritas (Syiah dan Ahmadiyah)", melihat manifesto Partai Gerindra menjadikan penganut di luar agamamainstream, seperti Ahmadiyah dan Syiah, kian rentan.

“Apalagi, dalam koalisi, Prabowo berdampingan dengan kelompok Islamis,” kata Aan. Akibatnya, kata dia, jika jadi presiden, Prabowo lebih mudah terpengaruh membuat kebijakan destruktif. 

Adanya desentralisasi, ujar dia, akan membuat kewenangan presiden menjadi berkurang. Presiden, dia melanjutkan, tidak memiliki kekuatan memaksa pemerintah daerah untuk tidak mengintimidasi penganut Ahmadiyah dan Syiah di daerah tertentu.

*Link asli berita ini bisa diakses di sini

10 Tahun Munir: Sebuah Sikap

Jakarta - Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia (PPIA) mendesak Presiden RI, Susilo Bambang-Yudhoyono, dan calon presiden terpilih, Joko Widodo, untuk menuntaskan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Pernyataan ini disampaikan presiden PPIA Australian Capital Territory (ACT), Shohib Essir.

"Pada 7 September 2004, Munir diracun dalam perjalanan ke Belanda untuk studi pasca-sarjana, menjadi pelajar diaspora seperti kami," kata Shohib usai meluncurkan pembukaan lomba karya sastra berjudul 'Munir, Jokowi, dan Masa Depan Indonesia' di Canberra, Australia, dalam keterangannya, Selasa *26/8/2014).

Terpilihnya Joko Widodo, lanjut Shohib, menumbuhkan harapan baru akan dilanjutkannya pengungkapan kasus Munir. Harapan yang sama dikemukakan Awidya Santikajaya, ketua Indonesia Synergy, forum mahasiswa pasca-sarjana berbasis di Canberra. 

"Mengapa sudah 10 tahun Negara hanya adili pelaku lapangan? Ini sebuah kejanggalan. Kita harus mengingatkan Jokowi agar kasus Munir tidak terabaikan" tegas Awidya.

Untuk mengenang 10 tahun kematian Munir dan 10 tahun perjuangan pengungkapan kasus itu, PPIA Canberra dan Indonesia Synergy menggelar serangkaian acara. PPIA dan Synergy menyerukan tiga langkah praktis kepada publik media sosial

"Kita mengajak publik, menandatangani petisi yang dibuat Suciwati di situs Change.org/Munir, mengajak pengguna media sosial memakai gambar Munir dengan seruan #IndonesiaMenolakLupa, dan mendesak pemimpin negara menuntaskan kasus Munir," tegas Awidya.

"Pak @Jokowi_do2 mohon tuntaskan ujian sejarah kita dari Pak @SBYudhoyono dengan menuntaskan ks Munir #10thnMunir" begitu bunyi salah satu kicauan mereka. 

Selain kasus Munir, mereka juga mendesak Jokowi sebagai pemimpin baru Negara untuk tuntaskan kasus Marsinah, Wiji Tukul, 1965, Priok, Talangsari, Trisakti, Semanggi, Aceh, hingga Papua.

Selain itu, para diaspora Indonesia ini juga menggelar diskusi publik berjudul 'Indonesia's Unfinished Agenda: The Unsolved Murder of Munir Said Thalib' pada 2 September 2014 di Australian National University. Diskusi ini akan menghadirkan pakar politik Indonesia dari Australian National University, Marcus Mietzner dan profesor reformasi hukum dan keadilan Simon Rice. Diskusi ini juga akan diisi oleh paparan mantan sekretaris Tim Pencari Fakta Kasus Munir, Usman Hamid.

Acara lain yang akan digelar juga lomba menulis puisi, gurindam dan pantun bertema 'Sastra Menolak Lupa', lomba puisi ini terbuka bagi siapa saja di mana saja. Sebuah film dokumenter berjudul 'His Story' garapan Steve Pillar dan Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) juga akan diputar di rangkaian kegiatan ini.

Link asli berita ini bisa dilihat di sini

Selasa, 19 Juli 2016

Indonesia Update 2014: Selayang Pandang

Indonesia Update Conference, atau yang sering disebut sebagai konferensi tentang Indonesia yang terbesar yang digelar di luar Indonesia, tahun ini diselenggarakan di kampus ANU, Canberra, 19-20 September2014. Kinerja pemerintahan SBY menjadi topik utama.


Konferensi yang digelar tahunan sejak 1983 itu, kali ini membahas 10 tahun masa kepemimpinan Presiden SBY dengan tajuk ‘Yudhoyono years: an assessment’.
SBY adalah presiden pertama yang dipilih langsung oleh rakyat Indonesia pada tahun 2004 dan SBY juga presiden pertama yang dipilih kembali sebagai presiden pada tahun 2009.
Indonesianis kenamaan dari seluruh dunia berkumpul di ibukota Australia. Selain itu, ahli ekonomi, politik, lingkungan, HAM dan gender dari berbagai negara. Mereka mempresentasikan gagasan dan penilaian mereka atas kinerja SBY dalam berbagai bidang selama menjabat presiden selama dua periode tersebut.
Tak kurang dari 400 akademisi, pemerhati Indonesia dan mahasiwa Indonesia yang sedang belajar di Australia berbondong-bondong ke Canberra menghadiri konferensi bergengsi yang diselenggarakan oleh ANU Indonesia Project, College of Asia and the Pacific.
Dalam konferensi itu mengemuka bahwa, warisan SBY dalam kebijakan luar negeri adalah keberhasilannya membuat Indonesia diperhitungkan kembali dalam peta perpolitikan global.
Hal ini dianggap positif karena sejak awal periode kepresidenan, ia langsung menghadapi kondisi geopolitik yang tidak menguntungkan semisal adanya ancaman gerakan separatisme, terorisme, krisis finansial yang masih menyisakan terapi kejut dan juga reformasi politik yang belum beres.

Gedung Coombs Theater Universitas Nasional Canberra dipenuhi peserta Indonesia Update. (Photo: Shohib Essir)
Gedung Coombs Theater Universitas Nasional Canberra dipenuhi peserta Indonesia Update. (Photo: Shohib Essir)
Dibahas pula bahwa SBY berhasil mengangkat ekonomi Indonesia ke tingkat yang lebih baik, sehingga Indonesia tergabung dalam G20. Lalu, ia berhasil membina hubungan yang baik dengan China dan AS, bahkan bisa 'menarik kembali' AS ke Indonesia dan menjaga kedekatan hubungan ekonomi dan politik yang baik dengan China.
Namun, menurut Evi Fitriani, pengajar Hubungan Internasional dari Universitas Indonesia, secara umum, platform politik luar negeri Indonesia dianggap tidak naik signifikan.
"SBY cenderung menggunakan pendekatan ‘thousand friends zero enemy’. Selain itu, masyarakat internasional dianggap lebih memahami kebijakan politiknya daripada komunitas dalam negeri Indonesia sehingga dalam beberapa hal, SBY lebih memilih mengurus masalah hubungan internasional yang berhubungan dengan Indonesia daripada memberi perhatian serius dan menyelesaikan isu-isu domestik." kata Evi Fitriani.
Dalam bidang politik dalam negeri, misal isu desentralisasi, dosen illmu politik dari Universitas La Trobe di Melbourne, Dirk Tomsa, berasumsi bahwa kebijakan ini di masa SBY tidak dianggap sebagai keberhasilan yang serius juga tidak sebagai kegagalan total.
"Pemekaran daerah dan provinsi yang ada tidak selalu menguntungkan dan juga merugikan. Bahkan beberapa kelemahan  dalam menerapkan kebijakan ini telah membuat pemerintah mencoba menata ulang kebijakan desentralisasi." kata Tomsa.
Mengenai sengketa hukum, menurut Tomsa, MK di bawah pimpinan Jimly Asshidiqie dan Mahfud MD dianggap berhasil memberi keputusan yang adil dan konstitusional secara umum. Era kepemiminan Mahfud MD ditandai dengan meningkatnya aktivisme perundangan dalam negeri, dengan MK menginvalidasi 105 kasus dari 404 kasus yang diproses. Hanya saja di akhir jabatan SBY, Akil Mochtar yang menggantikan Mahfud MD menodai pencapaian itu dengan dipenjara terkait kasus suap. 
Isu Lingkungan
Pembicara Avi Mahaningtyas mantan koordinator Tim Gugus Kerja mengenai Iklim dan Hutan Indonesia, berpendapat bahwa dalam soal kebijakan lingkungan, 10 tahun kepemimpinan SBY dapat dinilai dengan frasa ‘big commitments, slow results’ (banyak komitmen besar tetapi hasilnya lambat).  SBY dianggap punya komitmen yang baik dalam hal kebijakan perubahan iklim dalam skala nasional dan global. Namun ia tidak strategis dalam menggunakan momentum politik, utamanya lambat dalam mengambil keputusan penting yang berkaitan dengan isu-isu lingkungan.
SBY mengesahkan UU Lingkungan Nomor 32/2009 yang sebenarnya bisa jadi amunisi penting untuk mewujudkan janji-janjinya, namun lemah dalam penegakan aturan ini. Bahkan, oleh pembicara Patrick Anderson penasehat kebijakan dari komunitas HAM Inggris bernama The Forest Peoples Programme, Kementrian Lingkungan Hidup dianggap sebagai institusi besar yang tak punya power, dalam hal pengawasan dan penegakan hukum.
Sementara itu pembicara Robin Bush dari Universitas Nasional Singapura  menilai, dalam soal perlindungan terhadap hak-hak minoritas SBY dianggap kurang berorientasi pada minoritas dibandingkan dengan perlindungan yang diberikan oleh Abdurrahman Wahid. Namun, SBY jauh lebih peduli jika dibandingkan dengan kebijakan yang ada di era Suharto.
Dominic Berger, seorang kandidat doktor ilmu politik di Australian National University Canberra berpendapat bahwa selama masa pemerintahan SBY, Indonesia setidaknya mempunyai track record perlindungan HAM yang lebih baik dibandingkan dengan negara lain. Indonesia juga berhasil menghindar dari kemunduran besar penegakan HAM dalam dekade terakhir.
"Namun, hal positif penegakan HAM ini tidak terkait banyak dengan peran SBY sebagai presiden. Ia dalam beberapa momen krusial dianggap telah gagal menunjukkan niat dan kemauan politik untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia." kata Berger.
Kasus Munir yang dianggapnya sebagai test of our history pun gagal dituntaskan. SBY lebih memilih untuk fokus pada jalur penegakan HAM dimana ada sedikit resistensi yang akan dimunculkan.

Para peserta Indonesia Update berbaur saat rehat. (Photo: Shohib Essir)
Para peserta Indonesia Update berbaur saat rehat. (Photo: Shohib Essir)
Kesejahteraan Sosial
Menurut Faisal Basri, dosen senior pada Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, terlepas dari banyak program social welfare yang diinisiasi pada era-nya, juga strategi besar yang diperkenalkan ke publik, dan kebijakan desentralisasi yang diterapkan, prestasi SBY jauh dari ekspektasi publik.
"Ada 3 hal yang menjadi bukti ketidaksuksesan SBY. Pertama, Indonesia kehilangan sisi kompetitif di ranah pendidikan. Kedua Indonesia jadi lebih bergantung pada subsidi dan bantuan sosial lainnya. Ketiga, Indonesia gagal mewujudkan Millenium Development Goals dalam bidang kesehatan," jelasnya.
"Yang justru terlihat oleh publik adalah meningkatnya birokratisasi usaha pengentasan kemiskinan."
Tidak adanya leadership yang baik dalam urusan kesejahteraan sosial menurut Faisal Basri, menyebabkan orang miskin Indonesia tidak bisa diberdayakan dan kemiskinan tak bisa ditanggulangi sepenuhnya. "Yang ada, orang miskin justru sangat tergantung pada birokrasi pemerintahan yang sedang berjuang memahami bagaimana menerjemahkan kebijakan SBY pada tataran praksis dan perubahan di masyarakat," jelasnya.
Menurut Greg Fealy, Associate Professor di College of the Asia and the Pacific ANU, SBY adalah presiden yang baik, namun ia bukanlah pemimpin terbaik jika dibandingkan dengan presiden RI sebelumnya. Fealy mendeskripsikan 10 tahun kepemimpinan SBY dengan 3 kata kunci: majoritarian democracy, insecurity and hubris.
Salah satu kepribadian SBY yang dianggap mempengaruhi gaya kepemimpinannya adalah sikapnya yang sering insecure. SBY selalu gelisah tentang persepsi masyarakat akan dirinya dan ia selalu sensitif dalam menanggapi setiap kritik yang diarahkan untuknya. Ia pun sering terlihat ragu-ragu dalam mengambil keputusan penting.
Karenanya, SBY mengikuti pendapat mayoritas dengan selalu mencari informasi dari lembaga polling tantang apa yang sebenarnya publik inginkan dalam isu-isu penting. SBY menganggap cara yang demikian sebagai cara demokratis dan untuk menghindarkan diri dari pergolakan domestik.
Secara keseluruhan, 10 tahun masa kepemipinan SBY menandai kembalinya Indonesia secara politik ke kondisi normal setelah krisis multidimensional yang mengakhiri era panjang pemerintahan Soeharto dan periode transisi politik Indoensia yang penuh gejolak.
Mengutip Dewi Fortuna Anwar, periode 2004-2014, memberi kita banyak pelajaran berharga apa yang sebaiknya dilakukan dan ditinggalkan pemerintahan Jokowi-JK. Dewi melanjutkan, 10 tahun pemerintahan SBY telah memberikan fondasi yang kokoh untuk Indonesia dan bagi Jokowi-JK untuk melanjutkan Indonesia ke masa depan dengan percaya diri, baik di dalam maupun di luar negeri.
*Shohib Essir adalah dosen UIN Jakarta yang sedang melanjutkan pendidikan S2 di Australian National University di Canberra dan juga ketua PPIA negara bagian ACT.

*Link asli tulisan ini bisa dilihat di sini atau di sini dan juga di sini


Agustus: Sudahkah Kita Memerdekakan Diri Sendiri?

“The Republic of Indonesia is not owned by a group, does not belong to a religion, not owned by a tribe, not owned by a custom class, but it belongs to all of us from Sabang to Merauke!” (Soekarno, 1955)

Shohib Essir

17 Agustus 1945 adalah tonggak penting sejarah bangsa Indonesia. Sebenarnya, itu hanyalah satu dari beberapa momen historis yang fundamental. Sebuah jembatan emas yang menjadi momen besar yang terukir dengan darah dan air mata. Yang jauh lebih besar dan lebih penting adalah apa yang diperbuat secara kolektif setelah melewatinya. Merayakan HUT RI ke-69 ini, saya ingin mengelaborasi sejumlah pemikiran dan pidato Soekarno, presiden Indonesia yang pertama.

Setelah proklamasi 1945, bangsa ini masih dihadapkan pada setidaknya dua pilihan sulit: “Dunia yang sama rata sama rasa atau dunia yang sama ratap sama tangis!”

Setiap tahun kita merawat ingatan atas kemerdekaan itu dengan mengadakan upacara seremonial. Wajar dan tak ada yang salah. Kemerdekaan yang sesungguhnya adalah apa yang telah kita raih dan kerjakan bersama sebagai sebuah bangsa. Penjajah asing memang telah pergi, namun bukan berarti perjuangan telah selesai. Tugas paska kemerdekaan adalah memerdekakan diri sendiri dan melawan ketidakadilan serta ‘penjajahan’ dari bangsa sendiri. Hal ini jauh lebih susah dan masih berlangsung sampai sekarang.

Memang, tak dipungkiri, banyak hal yang telah kita capai, termasuk demokrasi yang semakin hari kian kokoh dan solid. Namun, kondisi kita sekarang sedikit banyak masih dalam kondisi pancaroba, “Kita belum hidup dalam sinar bulan purnama, kita masih hidup dimasa pancaroba. Jadi tetaplah bersemangat elang rajawali!”.

Sebagai diaspora Indonesia di Australia, kemerdekaan Indonesia bisa dirayakan setiap hari, tanpa harus menunggu bulan Agustus. Lewat PPIA misalnya, dengan promosi budaya nasional dan mengajarkan bahasa Indonesia ke warga negara Australia.

Saya membayangkan Indonesia ke depan adalah sebuah negara yang secara penuh mengejawantahkan makna kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya. Bukan kemerdekaan yang sekedar label, yang normatif, bukan juga sebatas seremonial, tapi kemerdekaan yang substantif.  Sejujurnya, secara substantif kita belum bisa dianggap merdeka. Bangsa ini masih dibelenggu penjajahan akibat mentalitas elite dan non-elite yang rapuh serta “sakit”. Merdeka secara substantif dalam konteks ini bisa berarti “merdeka” secara intelektual dan mental.

Merdeka intelektual bisa diwujudkan dengan tak adanya kriminalisisi dalam mengemukakan opini dan gagasan ke ruang publik, betapa pun berbedanya dengan pendapat mainstream. Warga negara dengan bebas berhak untuk memeluk yang diyakini, tanpa paksaan dan tanpa serangan kelompok lain ketika beribadah. Juga menguatnya peran negara yang melindungi semua tanpa membedakan latar belakang dan bukan majority-ruled.

Merdeka mental bisa berwujud dengan adanya kepercayaan diri bahwa asing dan lokal adalah setara. Tak ada lagi supremasi asing. Semua bangga dengan produk dalam negeri. Tidak lagi sikap memandang rendah bangsa sendiri dan lunturnya mental feodalisme. Merdeka secara mental ini bisa dimulai dari lingkup sekolah dan universitas, yakni dengan memberi peserta didik ‘pendidikan yang membebaskan’. Merdeka mental juga berarti merdeka secara budaya, semisal dengan bangga berbahasa Indonesia dan menempatkan bahasa asing secara kontekstual. Juga dengan bangga dengan pakaian khas Indonesia, kuliner lokal dan lainnya. Hal ini tak lain karena “Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.”

Tentunya, dan yang paling penting, semua itu bisa diwujudkan dengan mulai “memerdekakan diri sendiri”. Juga dengan menjadikan diri sendiri pahlawan bagi lingkungan sekitar, pahlawan dalam arti yang menghidupkan, bukan pahlawan yang lekat dengan makna nisan, masa lalu dan kematian. Pahlawan yang berjuang dengan tujuan memupuk semangat bangsa dalam bidang ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, kesenian dan budaya.

Pada akhirnya, kita harus ingat dan sadar diri bahwa, “Negeri kita kaya, kaya, kaya-raya, Saudara-saudara. Berjiwa besarlah, berimagination. Gali ! Bekerja! Gali! Bekerja! Kita adalah satu tanah air yang paling cantik di dunia!”.

*Tulisan untuk Ozip Magazine. Kunjungi laman aslinya berikut ini











Senin, 18 Juli 2016

Problems of English as Medium of Instruction in Indonesian High Schools

Since 2006, English has been the main instruction language in Indonesian public schools, also known as International Standard School (SBI and RSBI). There are 1,305 such schools in 33 provinces, consisting of 239 elementary schools, 356 junior high schools, 359 senior high schools and 351 vocational schools (RFA, 2013). It is believed that by having English as the language of instruction, students will be globally competitive and better able to travel abroad for further study (Kustulasari, 2009). The government even urges all schools to apply such system. However, this assumption is arguably superficial and poses a number of serious problems in terms of purpose, financial and technical problems for its implementation, and problems relating to teacher’s qualification.

The purpose of teaching students subjects in English is unclear. The two reasons, based on interviews with schools principals and teachers done by the British Council, are globalization and studying abroad (Coleman, 2010). Globalization is synonymous with international competition (Coleman, 2009a); this competition is then assumed to involve the use of English; and using English is perceived to necessitate the learning of school subjects in English. Such formulation is problematic because being competitive is simply understood as having proficient English. The fact is that to adequately compete in global competition, students need to possess hard skills in the form of numeracy, computer and language abilities and soft skills in the form of leadership, communication, cultural awareness and problem-solving abilities. Students can be taught all of them without having English as instruction language. In addition, there are many other international languages which can be used to bridge such competitions. It is better if such schools require students to study international languages but the need for English in international contacts does not imply that learning of school subjects should take place in English (Coleman, 2009a).

The reason of studying abroad to justify such instruction is also unacceptable. Coleman (2009b) argues that within context of Indonesia, there are two groups which experience direct impact of globalization, namely people working abroad and those studying overseas. There are only 50.000 students studying overseas at any one time and the government provides them with exclusive education and funds. In contrast, there are approximately 2.5 million Indonesian migrant workers working abroad at any one time. These people often have difficult employment conditions when they work overseas, but they generate over $6 billion in foreign exchange annually. They receive little or even no education or training which is specially designed to enable them to survive and success abroad. If studying abroad is the main reason for having such instruction, the government is clearly unfair. Hence, to be fair, the government should design equal system of education and training for All Indonesians.

Another justification is that such schools are intended to avoid Indonesian students seeking for quality schools abroad (Tarso, 2013). This reason implies that before the existence of SBI and RSBI, Indonesian schools are not good enough in terms of quality. This surely contradicts the government policy on education as they already have “Sekolah Unggulan”. In addition, the rich can send their children anywhere at their wish. Having such schools will only extend the existing gap between them and the poor.

There are also financial and technical issues in implementation. A school with English as instruction language is very expensive and to run, it is unlikely to be affordable for people with low-income. This is discrimination because getting primary education is a basic human right. Rich people can get some full benefits in such schools while the poor are not able to enjoy such luxury. In terms of facility, those schools are required to equip classrooms with Air Conditioner, Laptop, and LCD projectors. They are also obliged to have laboratory of language and science (Latief, 2013). Unfortunately, the fund which is needed to facilitate such schools is taken from students. Being international is then identified with the physical character of schools instead of introducing eco-friendly schools environment, for instance by having common window rather than AC, and of academic skills improvement.

As the government only provides two years for such schools to prepare, many of them buy foreign books which are very expensive. While local publishers are very keen to produce books with international quality, most schools choose the imported materials. Such books cause difficulties for schools. Local teachers are then confused how to teach such materials as they don’t really comprehend the methodology. Foreign publishers also offer cooperation by providing specific training for teachers as long as such schools buy their books (Sanjaya, 2013). It also doesn’t accommodate well the local knowledge. A good example is on the vertebrate animals which are shown in an imported science book. Students need time as they can’t find them in their surroundings. They don’t learn their local faunas in schools and it makes no good as they have to at least recognize well their own regional potentials before studying “foreign” knowledge.

In addition, such schools are heavily subsidized and fees are charged. Each year the government grants around Rp11 billion of subsidy for the school in which each school receives fund ranging from Rp200 to 300 million. The schools also charge students entrance fee starting from Rp4 to 15 million and monthly tuition fee which varies from one school to another, from Rp300.000 to 5 million (Saut, 2013).

The case is very different in Surabaya as there is an anomaly. Schools are completely free of charge as the local government allocates their budget to fund these educational institutions. Students only have to pay for uniform, books and their own stationeries. Major of Surabaya, Tri Rismaharani, even declares that there is no discrimination between the rich and the poor in Surabaya’s RSBI. Everyone must attend an admission test to analyze their academic abilities and even a system to monitor the poor students has been created. Furthermore, the poor are given free bag, books and hats, although it is only for the percentage of 5%. All of this local policy is truly inspiring but unfortunately it is only in the capital of East Java and not applied in other SBI/RSBI in Indonesia (Wibawa, 2013).

Another technical issue is regarding schools’ curriculum. SBI and RSBI must apply a concept called (SNP+X). SNP (Standar Nasional Pendidikan) is a national standard of education and it must be combined with an X which refers to a standard of OECD (Organization of Economic Cooperation) or an international certification test such as Cambridge or ETS. The reason why such schools have to adopt an X is unclear as OECD has 30 members and which country should be taken as sister school and which aspects of the schools which needs to be developed is not defined, but can be chosen randomly. While developed countries such as Australia, Singapore and New Zealand didn’t permit such foreign system of education to be applied, it is really unproductive for the government to do the opposite (Ramaoka, 2013). In addition, the curriculum requires the students to attend the national examination and Cambridge test in the end of their study. It is very hard to them to focus to the two final tests in their final year as said by some principals.

There are also cognitive and psychological problems with the students. Students whose mother tongue is not English require a longer time to comprehend schools’ subjects if they are given in English. It becomes a technical handicap for them to improve their academic skills. Even, some of them face difficulties to normally interact and discuss with their native teachers as it should be done in English. In a few cases, their parents enroll them to an additional English course which is quite expensive only to make sure that their children can keep up with their classmates and school’s expectation. Some of students show symptoms of depression such as being angry frequently, crying and unable to sleep. They tell their parents that it is caused by pressure due to inability to comprehend school subjects which are difficult to them even though it is explained in Indonesia, let alone English. They also feel that their classmates are individualistic. Much homework even forces them to stay up. They are also afraid if their assignments are unfinished or incorrect as their teacher will be furious. Such schools demand too much and as a result students lose their time to play and socialize with their family, relatives and neighbors (Sanjaya, 2013).

Another issue is related to teachers’ qualifications. Most of them are not proficient in English as it is shown by the fact in the IELTS and TOEFL tests, only 10% of them get more than 500 (Sutan, 2012). Based on Ministry of education’s research and evaluation, 80% of principals and local teachers have very limited competence of English. They are on the novice (100-250 out of 990) and elementary level (255-400 out of 990) of TOEIC (Ramaoka, 2013). In order to tackle this issue, such schools oblige their teachers to improve their English ability by joining language courses in which fees are burdened to students. They are also required to get a certificate to teach in an international standard school. Such certificate is very expensive and becomes intriguing business among educators. Another solution is by hiring foreign teachers to educate their students. These foreign teachers are paid monthly with high salary, around Rp30 to 46 million while local teachers earn only Rp3 million (Ucu, 2013). In turn, it causes jealousy of local teachers as their salaries are very low. Some other schools hire capable speakers of English, mainly from Australia, the UK and the USA, to accompany local teachers while teaching and explaining subjects, but, this situation makes the local educators feel uncomfortable within the class.

Being taught in English doesn’t necessarily mean that the students will be more qualified on global competition as language in this context is merely a tool of communication, albeit an important one. Preparing students to compete internationally can be done by teaching them soft and hard skills in their native language. In the end, students’ mother tongue is the best medium of instruction to teach Indonesian students in classrooms and English must be allocated proper time as a compulsory subject to equip them with language skills.

Shohib Essir

* A mini research written and presented in IALF Kuningan