Rabu, 20 Juli 2016

Mengecam Pilkada lewat DPRD: Sikap

Persatuan Pelajar Indonesia di Australia cabang Australian Capital Territory (PPIA ACT) sangat menyesalkan dan mengecam pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh DPR.
Berdasarkan hasil kajian akademik soal pilkada langsung, PPIA ACT menyimpulkan terjadi pendidikan politik yang signifikan terhadap masyarakat Indonesia lewat pilkada langsung sejak 2005.
Pilkada langsung secara pasti telah membuat kepala daerah lebih bertanggung jawab terhadap masyarakat melalui aspek akuntabilitas vertikal yang terkandung di dalamnya.
"Saat ini pelembagaan partai politik di Indonesia belum mampu berperan sebagai salah satu pilar demokrasi secara efektif," ujar Ketua PPIA ACT, Shohib Essir, dalam siaran pers yang diterimaTribunnews.com, Jumat (3/10/2014).
Faktanya, imbuh Shohib, dominasi oligarki kuat dalam partai politik. Dengan pilkada langsung, rakyat menentukan sendiri pemimpinnya saat partai politik belum bisa menjadi saluran agregasi kepentingan yang akuntabel.
Karena itu, ujarnya, pemberlakuan kembali Pilkada oleh DPRD secara pasti mencabut hak konstitusional warga Negara untuk aktif dalam politik dengan memilih langsung pemimpinnya dan bertentangan dengan UUD 1945 pasal 18 ayat (4) tentang kedaulatan rakyat.
PPIA ACT menilai problematisasi pilkada langsung apakah ide ‘nilai asli Indonesia’ atau ‘impor nilai Barat’ telah digunakan sebagai retorika untuk mengembalikan otoritarianisme.
Adapun penilaian ini diambil karena rezim Orde Baru menggunakan retorika yang persis sama untuk merepresi bangsa Indonesia selama 32 tahun.
Oleh karena itu, tindakan pemberlakuan pemilihan kepala daerah tidak langsung adalah contoh bagaimana kelompok oligarki dengan cara berpikir Orde Baru-nya ingin membajak demokratisasi di Indonesia.
Berdasarkan hal di atas, PPIA ACT berpendapat pemberlakuan kembali pilkada lewat DPRD kontraproduktif dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia yang berlangsung 16 tahun pascaruntuhnya rezim otoriter Orde Baru.
Melihat kondisi tersebut, PPIA ACT menyerukan menolak dan mengecam keras pemberlakuan kembali pilkada tidak langsung di Indonesia.
PPIA ACT juga mendukung upaya seluruh elemen masyarakat membatalkan pasal tersebut, termasuk melalui uji materi (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, PPIA ACT mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bertanggungjawab atas kekisruhan ini dengan mengambil sikap tegas sebagai kepala Negara melalui keputusan politik resmi presiden.
*Link berita ini bisa dikunjungi di sini dan di sini. Pernyataan sikap resmi PPIA ACT 2014 bisa dilihat di laman ini.

2014 Election: Protecting the Minority


The presidential election this year is expected to elect leaders who will pay attention to the fate of the minorities. It was disclosed by Shohib Essir, President of the Indonesian-Australian Student Association (PPIA) Canberra to RRI correspondent in Australia. According to him, a number of Indonesian students in the Australian Capital Territory often hold forum to listen to the aspirations and share an overview of Indonesia's future leaders.
Issues on violence and the curtailment of the right to worship according to the people’s beliefs have recently emerged, causing concern among the Indonesian academicians. Therefore, they are looking forward to a leader who can fight and bring back the spirit of the nations’ motto Bhineka Tunggal Ika or “Unity in Diversity”.
"So the minority is really important. We wish that there will be no more violence to the minorities, no more banning on the place of worship; they can worship according to their beliefs. And this is in accordance with Indonesian motto of Unity in Diversity.”
While asked about the participation in the upcoming presidential election, Shohib Essir said the Indonesian students in Canberra are ready to succeed the election and the democratic process while hoping the next presidential election will be of good quality towards a dignified nation.
The original link can be seen in here and here

Pemilu 2014: Menolak Purifikasi Agama

TEMPO.COJakarta - Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia Australia cabang Canberra, Shohib Essir, melihat adanya tendensi calon presiden yang dalam sikap politiknya mengakomodasi purifikasi agama. Menurut dia, kebijakan pemurnian ajaran agama adalah bentuk kontraproduktif bagi keberagaman Indonesia.

“Ada celah terjadinya persekusi (penghambatan) terhadap minoritas,” kata Shohib melalui pesan singkatnya pada Ahad, 18 Mei 2014.

Dia menjelaskna, dalam diskusi Jumat lalu, mahasiswa Indonesia dan luar negeri tersebut melontarkan kekhawatiran andai Prabowo Subianto terpilih dalam pemilu presiden mendatang. Aan Suryana, yang membahas disertasinya berjudul "Kekerasan Negara terhadap Minoritas (Syiah dan Ahmadiyah)", melihat manifesto Partai Gerindra menjadikan penganut di luar agamamainstream, seperti Ahmadiyah dan Syiah, kian rentan.

“Apalagi, dalam koalisi, Prabowo berdampingan dengan kelompok Islamis,” kata Aan. Akibatnya, kata dia, jika jadi presiden, Prabowo lebih mudah terpengaruh membuat kebijakan destruktif. 

Adanya desentralisasi, ujar dia, akan membuat kewenangan presiden menjadi berkurang. Presiden, dia melanjutkan, tidak memiliki kekuatan memaksa pemerintah daerah untuk tidak mengintimidasi penganut Ahmadiyah dan Syiah di daerah tertentu.

*Link asli berita ini bisa diakses di sini