Fethullah Gulen adalah seorang pemikir Turki kenamaan yang tinggal di Amerika Serikat. Ia sangat masyhur dengan gerakan filantropi internasional yang sering disebut Hizmet. Ia adalah seorang pemikir ulung tentang harmonisasi sains dan ilmu-ilmu keislaman, selain juga konseptor pendidikan. Seperti Freire yang punya pandangan khas tentang edukasi, Gulen pun memiliki pandangan yang istimewa.
Bagi Gulen, Al-Qur’an saat pertama kali diturunkan telah
mewahyukan kewajiban simbolis untuk belajar bukan hanya kepada Muhammad sebagai
penerima wahyu, namun bagi seluruh umat manusia. Karenanya, pendidikan (yang
notabenenya kata benda, namun bermakna kata kerja, baik dalam artinya yang aktif,
mendidik dan maknanya yang pasif, dididik) adalah kewajiban bagi semua orang.
Gulen sendiri mencontohkannya dengan menjadi pendidik, baik secara lisan maupun
perbuatan.
Gulen adalah seorang pendidik sejati. Baginya, makna wahyu pertama tertekan pada kewajiban belajar, bukan beribadah. Karena hanya dengan belajar yang benar kita bisa beribadah yang sah. Tak salah bila pada suatu kali, Gulen berujar: “Perbanyak Sekolah, Bukan Masjid (Instead of Mosques).
Gulen adalah seorang pendidik sejati. Baginya, makna wahyu pertama tertekan pada kewajiban belajar, bukan beribadah. Karena hanya dengan belajar yang benar kita bisa beribadah yang sah. Tak salah bila pada suatu kali, Gulen berujar: “Perbanyak Sekolah, Bukan Masjid (Instead of Mosques).
Dalam bahasa yang lain, Gulen
menyatakan bahwa kewajiban manusia adalah memahami (seek understanding), dengan
jalan dan cara apapun. Pendidikan adalah sarana menuju pemahaman yang
dimaksudkan. Gulen mendefinisikan pendidikan sebagai proses penyempurnaan dalam
hidup yang dengannya kita bisa meraih dimensi spiritual, intelektual dan
fisikal kemanusiaan. Baginya, pendidikan adalah tugas Ilahiyah yang hanya dengan
itulah kita bisa merasakan esensi kemanusiaan. Pendidikan dalam perspektif
Gulen adalah “Special Service” yang menjadi tugas kolektif berbasis
komunitas. Hal ini disebabkan pandangannya bahwa tujuan hidup terletak pada
kebaikan (baca: berbuat baik) yang dilakukan secara bersama-sama. Pandangan
Gulen tentang pendidikan dengan demikian tersimpul dan terkait erat dengan sisi
keimanannya (fully-integrated with his belief).
Suatu kali, Gulen
pernah berujar “we are only truly human if we learn, teach and inspire others”.
Kita menjadi manusia hanya karena kita belajar, mendidik dan menginspirasi
orang lain. Esensi kemanusian kita dengan demikian bukanlah akal, otak ataupun
pikiran, tetapi penggunaan akal agar berguna dan bermanfaat buat orang lain. Pendidikan
berbandinglurus dan sederajat dengan kemanusiaan kita. Gulen sering
membandingkan manusia dengan hewan dalam soal pendidikan. Hewan hanya dalam
hitungan hari bisa mendapatkan kemampuan untuk digunakan seumur hidupnya.
Sementara manusia memerlukan puluhan tahun untuk menjadi manusia yang
sesungguhnya dan mengenal Tuhannya. Bahkan ada manusia yang hingga akhir
hayatnya belum mendapatkan bekal kehidupannya.
Soal integrasi pandangannya
tentang pendidikan dengan keimanan, ini bisa dibuktikan, misalnya dengan
kukuhnya pendirian Gulen tentang mustahilnya ketidaksesuain ilmu pengetahuan
modern (Science) dengan ajaran agama (Religious Knowledge).
Baginya, Agama dan Ilmu Pengetahuan bukanlah dua hal yang berbeda (dan harus
dibedakan) tetapi dua hal yang esensial dan melengkapi satu sama lain
(komplementer). Belajar Science dan agama harus sama-sama
dipandang sebagai kegiatan ibadah. Lebih jauh, beliau berandai, jika saja tidak
ada serangan bangsa Mongol dan tidak terjadi perang salib (Crusade), maka dunia
Islam pasti tercerahkan (enlightened) dan tidak mengalami kemunduran. Dan
tentunya, jika pengandaian ini benar, kontradiksi Science dan Religious
Knowledge bisa terhindar dari polarisasi. Dengan
demikian, Sains hanyalah sesuatu yang berusaha mengamati dan mempelajari
ayat-ayat kauniyyah Tuhan yang Maha Esa. Karenanya, Agama akan memandu agar
sains tetap dijalan yang semestinya.
Menurutnya, ada 3
musuh di dunia ini yang harus dibasmi dan dihilangkan. Ketiga hal tersebut
adalah kebodohan, kemiskinan dan “internal schism”. Kemiskinan bisa direduksi
bahkan dihilangkan dengan penyediaan lapangan kerja dan peningkatan taraf
ekonomi masyarakat. Zakat dan Shodaqoh meruapakan cara-cara untuk mengatasinya.
Internal schism semisal ancaman separatisme bisa dihilangkan dengan komunikasi
pihak-pihak yang terlibat dan mendiskusikan masalah yang melatarbelakangi dan
berusaha mencari solusinya. Ancaman yang sering merongrong sebuah negara ini
bisa diatasi misal dengan pemberian status khusus ataupun otonomi. Kebodohan
(ignorance) hanya bisa diatasi lewat jalur pendidikan. Baginya, kita dikirim kedunia
untuk belajar dan menyempurnakan diri lewat pendidikan. Pendidikan adalah
“human service”.
Pendidikan tidak hanya
dijalankan lewat sebuah institusi khusus, madrasah dan sekolah misalnya, tetapi
juga harus dilaksanakan bahkan hingga di rumah dan tempat tinggal. Tak heran
bila Gulen berpendapat bahwa rumah manusia harus berfungsi sebagai tempat
ibadah dan unit pendidikan. Menurut Gulen, sekolah hanyalah mirip seperti
laboratorium kehidupan. Pendidikan dalam opini beliau adalah hal tersulit dalam
hidup dan juga yang paling sakral. Karenanya Nabi pernah bersabda bahwasanya
pendidikan itu dari buaian sampai liang lahat.
Gulen sangat mengagumi
dan terinspirasi oleh Sa’id Nursi, sang Bediuzzaman. Dalam pandangan Sa’id
Nursi, ilmu pengetahuan apapun hanya mencerahkan, mengiluminasi pikiran kita.
Kita butuh satu elemen lain, yakni keimanan dan kebajikan (faith and virtue)
untuk mencapai kejernihan kalbu. Inilah yang mengukuhkan Gulen akan perspektif
pendidikannya.
ABG ya? Anak buah Gulen....Hehehehehehehehe.....
BalasHapus