Saat menjelajahi perpustakaan the Australian National University (ANU) beberapa hari yang lalu, ada dua hal yang langsung mengingatkan saya kepada pak Hari, sapaan akrab beliau. Pak Hari? beliau memang tak mau dipanggil professor ataupun doktor, walaupun kualifikasinya jauh melebihi kriteria untuk menyandang dua gelar tersebut. Pernah beliau berkelakar, disaat banyak orang tersinggung kalau tidak dipanggil dengan gelar akademik tertingginya, bahwa kalau saja beliau bertemu orang di jalan dan memanggilnya dengan prof Hari, ia malah tak merasa disapa. Pertama kali beliau berkenalan dengan orang, beliau selalu bilang, nama saya Hari, panggil saja pak Hari.Ya, begitu lah pak Hari. Dari caranya dipanggil saja, sudah menggambarkan “deep structure” beliau.
Alasan pertama, pernah saya bertanya ke beliau di ruang kelas mengenai minimnya literatur linguistik di perpustakaan UI, tempat saya studi pascasarjana dengan konsentrasi linguistik deskriptif. Tanpa merasa tersinggung, beliau dengan gamblang dan enteng menjawab, “karena saya bukan pimpinannya”. Seingat saya, beliau bahkan menyebut jabatan dekan atau rektor terkait hal ini. Dan kenyataannya, dalam skala Indonesia, Atmajaya memang surga untuk buku-buku lingustik, walaupun masih ada kekurangan di sana dan di sini. Lebih lanjut beliau bercerita, “saat saya dipilih menjadi rektor di Universitas Katolik Atmajaya, saya menganggarkan puluhan juta untuk pembelian buku-buku di perpustakaan”. Tak hanya itu, beliau juga menyediakan waktu untuk membaca dan melihat buku-buku di perpustakaan PKPB Atmajaya.
Saya berdiri lama di lantai 4 perpustakaan Chifley, ternganga dan terpana. Chifley adalah salah satu perpustakaan di ANU, selain Menzies, Hancock, perpustakaan College of Law dan School of Art. Saya lihat puluhan rak-rak buku yang semua isinya tentang linguistik dari beragam topik dan perspektif, dari hampir semua yang ditulis penulis Amerika, peneliti dan pembela London School hingga karya Mark Alexander Kirkwood Halliday yang sekarang berdomisili di Sydney, Australia yang meneguhkan pandangan semiotika sosial. Buku dengan tema language death dan revitalisation misalnya, ada hampir seratus, dan tanpa pikir panjang, saya langsung meminjam hampir 20 buku untuk saya bawa ke Toad Hall, tempat saya berdomisili. Perpustakaan ANU memperbolehkan mahasiswa pascasarjana untuk meminjam 40 buku dengan durasi pinjam maksimal 6 bulan, kecuali ada yang recall. FYI juga, perpustakaan ANU memiliki hampir 3 juta buku cetak dan berlangganan hampir semua jurnal-jurnal premium dunia. Disini, ada pula fitur request yang memungkinkan mahasiswa ANU yang tidak menemukan buku yang dicarinya. Buku-buku itu-lah yang mengingatkan saya pada pak Hari. Tak ada linguis tanpa buku-buku yang memadai. Betapa vitalnya buku menurut beliau untuk menunjang seseorang menjadi ahli bahasa, linguis.
Kedua, ada Professor yang mirip karakteristiknya dengan beliau yang dulunya mengabdi di ANU. Nama keren beliau adalah Bob Dixon. Sama seperti pak Hari, beliau benar-benar mengabdikan dirinya untuk bahasa, mulai dari meneliti bahasa di pedalaman Australia, PNG hingga ke hutan Amazon di Brazil. Beliau bukan orang Aussie, tapi kelahiran London. Mr Bob ini luar biasa dahsyat dalam metodologi penelitian bahasa dan ahli dalam gramatika bahasa pedalaman. Oxford pun memuji habis kecanggihan beliau dalam hal morfologi dan sintaksis. Sementara itu, pak Hari memang tidak melakukan riset lapangan sebanyak beliau, tapi dedikasi beliau dalam pematangan teori bahasa Indonesia patut diacungi jempol. Teori morfologinya sudah lama diterbitkan dan memang luar biasa. Teori sintaksis beliau masih dalam bentuk buku yang dikonsumsi secara internal oleh murid-muridnya, termasuk saya dan teman-teman lain yang diberi kesempatan untuk mengkritiknya. Hebatnya, beliau merasa kalau teori sintaksisnya belum matang. Selain kesamaan dalam hal dedikasi, keduanya juga sama-sama menyebut diri sebagai ahli bahasa. Pak Hari yang tulisan dan makalah-makalahnya saya koleksi menyebut diri dengan ahli bahasa, Mr Bob mendeklarasikan dirinya dalam buku fenomenal, “ I am a linguist”. Saya kira penyebutan ini penting, dan ini berbeda dengan penyebutan gelar professor yang kadang terasa angkuh.
(Bersambung ke Bagian 2)
0 comments:
Posting Komentar