-->
Kekerasan yang dilakukan mahasiswa akhir-akhir ini kembali terjadi. Mahasiswa yang berpendidikan tinggi itu melakukan kekerasan di berbagai daerah. Alih-alih menggunakan cara menyelesaikan masalah dengan akal sehat, kontak fisik malah lebih dipilih. Penulis tak berkehendak memojokkan entitas tertentu dalam hal ini. Penulis hanya ingin menunjukkan bahwa kekerasan oleh mahasiswa itu ada secara ontologis, dan kita sendiri saksinya. Dan tindakan yang demikian perlu dikritisi.
Mahasiswa adalah anggota masyarakat yang mempunyai peran strategis, tanggung jawab yang besar dan menjadi tumpuan masa depan bangsa. Mahasiswa adalah garda terdepan pembela rakyat, pengkritik ketidakadilan dan pembasmi praktek-praktek koruptif. Mereka adalah agen pewaris tradisi dan agen perubahan sosial. Tak lain, hal ini disebabkan posisi mereka di masyarakat sebagai pihak yang menerima pendidikan tertinggi. Beban berat, harapan yang menjulang, optimisme kejayaan diletakkan di pundak mereka.
Masalah rakyat adalah masalah mahasiswa. Mahasiswa yang ideal bukanlah mahasiswa yang hanya mengejar nilai akademis semata, tapi adalah mereka yang juga mau berfikir dan bertindak untuk masyarakat dimana ia hidup. Ia tak sekedar mengejar tittle cumlaude, tapi lebih jauh ia adalah agent of social change. Ketika ada masalah yang dialami masyarakat, maka disanalah mahasiswa harus terjun berperan. Thus, Relasi mahasiswa dan masyarakat sangatlah rekat, serekat darah dan urat nadi kita.
Peran Mahasiswa dan Persoalan Bangsa
Mahasiswa merupakan elemen istimewa dalam masyarakat karena ia memperoleh pendidikan tingkat tertinggi sehingga menghasilkan pengetahuan dan wawasan yang luas yang bisa digunakan untuk leading. Mereka adalah "jembatan" antara penguasa sebagai policy maker dan rakyat yang berposisi sebagai objek kebijakan itu. Maklum, pihak penguasa sering menggunakan logika yang ruwet dan bahasa yang elitis dalam memutuskan suatu kebijakan. Kebijakan yang dibuat sering tak bisa dipahami oleh rakyat kecil, sehinga rakyat diam membisu. Lalu, kebisuan itu dianggap sebagai silent agreement, sehingga pihak yang punya otoritas merasa sah-sah saja menjalankan programnya. Dianggapnya rakyat menerima hal itu. Hal ini tentu tak bisa didiamkan, karena bisa merugikan rakyat dan membuat mereka makin sengsara. Karenanya dibutuhkan sebuah elemen yang mampu menengahi dan mengkritisi hal ini, dan disitulah letak peran mahasiswa dalam hal social change. Kuasa dengan segala bentuknya memang harus diwaspadai, dikontrol dan diawasi. Produk UU yang dihasilkan DPR misalnya. Masyarakat yang terlelap dengan rutinitasnya sehari-hari tentu tak bisa melakukan hal ini. Di pundak Mahasiswa lah tugas ini tertancap.
Persoalan bangsa yang mendera kita sekarang ini memang berat. Ditambah lagi karena kondisi ekonomi global yang sedang kurang sehat. Karenanya, posisi rakyat semakin terjerat. Keadaan yang demikian perlu sebuah perubahan. Dan apa yang kita lihat memang demikian. Namun ada hal yang perlu diberi catatan.
Usaha perubahan yang dilakukan mahasiswa layak untuk diapresiasi, two thumbs up. Masyarakat tentu berharap yang demikian. Mahasiswa dengan nalar dan idealismenya yang tinggi melakukan perlawanan ke pihak pemerintah atas berbagai kebijakan yang salah dan tidak pro-rakyat. Kasus Century dan penahanan Chandra Hamzah-Bibit S Rianto misalnya. Demonstrasi dan mogok makan pun dilakukan sebagai tanda perlawanan. Mereka mengkritisi tanpa henti, tanpa lelah untuk membela rakyat. Tak cukup untuk disebutkan berapa besar jasa mahasiswa dalam hal ini. Terlampau banyak perjuangan mahasiswa dengan segala variannya yang telah tercatat dalam sejarah untuk melindungi rakyat. Perlawanan terhadap entitas selain pemerintah pun kerap dilakukan agar keadilan ditegakkan. Namun, sebagian perlawanan itu dilakukan dengan kekerasan. Ya, dengan kekerasan. Sebagian kecil, hanya itu. Tak lebih. Kecil dalam ranah ini bisa berimbas besar, bahkan sangat besar. Mahasiswa mengamuk melakukan perusakan fasilitas umum, melakukan pelemparan batu ke sejumlah gedung, kontak fisik dengan pihak lawan hingga sampai kontak senjata. Darah mengucur dan sebagian nyawa melayang. Kesemuanya dilakukan dalam rangka membela rakyat dan keadilan. Demi rakyat dan keadilan. Tapi, benarkah?
Kekerasan adalah atribut yang melekat pada entitas totaliter, despotik, dan tiran. Kekerasan merupakan langkah orang-orang picik dan berpikiran pendek. Kekerasan tak lain merupakan gambaran seseorang yang tak mampu menggunakan akal-pikiran anugrah Tuhan dengan baik. Dengan kekerasan, masalah tak akan berhenti dan memang tidak akan berhenti dengan jalan ini. Kekerasan justru akan menambah besar masalah dan menyulut masalah yang lain. Orang besar dan manusia mulia pasti tak akan mau menggunakan jalan ini menghadapi masalah, sebesar apapun itu.
Ketika mahasiswa melakukan kekerasan, maka otomatis mereka mengidentikkan diri mereka dengan orang yang tersebut diatas. Li anna man tassyabbaha bi qoumin fahuwa minhum menjadi adagium yang pas. Mereka membuang sifat yang didambakan masyarakat yang melekat padanya: Cerdas, Kritis, Solutif, Berakal Sehat, Mengedepankan Nalar. Mereka justru memakai jubah atribut yang melekat kepada figur yang masyarakat benci : Adu Jotos, Kontak Senjata, Pengrusakan, Pembakaran dan bahkan Pembunuhan. Akhirnya, tujuan yang mulia dilakukan dengan sarana yang kotor, dan berakibat pada hilangnya kemuliaan tujuan yang ingin dicapai. Idza ijtamat al halal wal harom ghuliba al haram, kata yurispruden Islam.
Penulis tak hendak menempatkan mahasiswa dalam posisi malaikat, yang memang tanpa amarah, tapi justru ingin mencitrakan mereka sebagai ubermensch : yang bisa mengendalikan amarah, tapi tujuan tetap teraih, seseorang yang bisa mengendalikan emosi dengan luar biasa, disamping memang berintelegensia. Apa yang diperjuangkan mahasiswa adalah apa yang baik buat masyarakat; for the sake of common goods. Kekerasan yang terjadi justru melawan nilai-nilai moralitas, mencederai citra mahasiswa dan menempatkan masyarakat bukan sebagai yang dibela, tapi sebagai penonton yang sinis melihat scene kekerasan yang dipertontonkan. Masyarakat yang awalnya merasa dibela jadi berbalik arah. Mereka malah memberikan kecaman, bukan pujian dan sanjungan ataupun ucapan terima kasih. Mereka malah membenci mahasiswa, bukan menghormatinya. Dan fakta inilah yang penulis lihat sekarang ini. Penulis mendengarkan sendiri sebagian masyarakat yang secara tegas meremehkan mahasiswa akibat kasus-kasus kekerasan baru-baru ini. Mereka menganggap mahasiswa sebagai bagian dari problem itu sendiri, bukan pemecahnya. Tentu mahasiswa yang melakukan kekerasan itu hanya sebagian kecil, tapi efeknya, sebagaimana yang penulis katakan sebelumnya, sungguh besar. Citra mahasiswa secara keseluruhan jadi tercoreng. Dan ini sungguh tak bisa diterima.
Mengedepankan Nalar, Membantah Nietzsche
Masalah tersebut muncul karena nalar sehat telah ditinggalkan, memilih mengedepankan hasrat, menuruti emosi sesaat dan mencari jalan pelampiasan kekesalan. Dengan demikian, cara menyelesaikannya pun dengan menggunakan nalar sehat yang ditinggalkan itu. Mahasiswa ketika melakukan kritik terhadap pihak pemerintahan harus menggunakan nalar sehatnya. Bukan adu senjata. Bukan saling injak. Begitupun perlawanan terhadap entitas lain yang telah berbuat tidak adil kepada rakyat. Bukan dengan lempar batu. Bukan dengan pembakaran. Mahasiswa idealnya lebih memilih untuk duduk satu meja dengan pihak yang dikritik menyampaikan pandangan dan penolakan. Semuanya nir-kekerasan. Hal ini harus dijadikan landasan perjuangan mahasiswa. Apa yang penulis lihat di layar kaca akhir-akhir ini memang agak mengecewakan. Mahasiswa yang berdemo menolak untuk berdiskusi dengan anggota DPR (kasus UU BHP-TV One). Sebagian anggota DPR pun menertawakan hal ini. Kasus lain, mahasiswa yang diajak berdiskusi kalah telak secara argument dengan perwakilan DPR (Metro TV). Mereka kurang meyakinkan seakan-akan tak punya landasan pemikiran yang kokoh.
Nietzsche menyampaikan dua hal yang perlu dipertimbangkan untuk gerakan kemahasiswaan. Pertama tentang paralogi moral yang tersebut dalam the Genealogy of Moral. Maksudnya adalah cara berfikir yang superficial yang menggunakan konsep circular negation. Misalnya “Anggota DPR korup, Kita bukan anggota DPR, Kita kebalikan dari anggota DPR, karenanya kita tidak korup,”. (Dengan demikian mahasiswa bukan koruptor, anggota DPR lah yang demikian dan anggota DPR harus dilawan, Argumennya sudah sangat jelas). Memilih untuk melakukan kekerasan bisa menimbulkan cap negatif bahwa mahasiswa hanya berfikir paralogis. Kalau mahasiswa dalam posisi yang diyakini benar, kenapa takut untuk beradu argument, kenapa lebih memilih adu tinju. Mengatakan kebenaran dengan jalan yang benar adalah hal yang benar. Ketika kekerasan lebih dipilih, bukankah kecurigaan, dan jelas bukan kebenaran, yang justru terendus? Jangan-jangan mahasiswa yang berdemo itu mahasiswa stress yang tak bisa belajar baik? Bukankah kecurigaan yang demikian ada pada tempatnya? Dan kecurigaan ini benar? Lain halnya bila duduk satu meja disepakati, hal itu sungguh terpuji. Tetapi argument mahasiswa harus benar-benar valid, pas sesuai persoalan, dan bukan yang dangkal. Benar-benar sebuah argument. Karenanya perlu pemikiran yang jeli dalam menanggapi kebijakan yang dianggap tidak adil, tidak pro-rakyat dan koruptif. Jangan sampai mahasiswa ditertawakan hanya karena argument yang ngawur. Kedua, Nietzsche berpendapat bahwa semua tindakan yang dilakukan manusia hanyalah berdasar pada kehendak untuk berkuasa. Karenanya bila jalan kekerasan tetap dipilih, ataupun argument dangkal tetap diusung, jangan-jangan, perjuangan yang dianggap sebagai pembelaan terhadap rakyat, yang digadang-gadang sebagai penegakan keadilan dan diklaim sebagai sebuah kebenaran adalah apa yang digambarkan Nietzsche dengan sempurna: usaha itu hanyalah kepura-puraan belaka ; sheer hypocrisy, karena kehendak untuk berkuasa-lah yang mendasari mereka untuk melakukan itu semua. Mereka melakukan hal tersebut hanya karena sedang tidak berada dalam posisi yang berkuasa. Mereka iri dan cemburu. Kalau mereka punya kuasa, mereka pun akan melakukan hal yang sama.
Mahasiswa bukanlah insan yang picik dan egois. Mahasiswa itu bernalar dan berhati nurani. Wacana kritis harus semakin digalakkan dikalangan mahasiswa. Nalar harus diasah, bukan physical power yang ditingkatkan. Isu yang berkembang, sebelum bergerak ke arah aksi lapangan, benar-benar harus dipikirkan serius. Perlu dikaji secara komprehensif. Kalau ternyata hasil pemikiran atas kebijakan itu sesuai dengan prinsip keadilan, katakan dengan tegas kalau mahasiswa mendukung. Mahasiswa siap mengawal kebijakan itu. Kalau salah, katakan salah, kritik dan lakukan perlawanan, tapi dengan cara yang bermoral. Mahasiswa itu bukan tukang pukul dan bukan pula perusak. Bukan pula mahasiswa seseorang yang langsung percaya isu dan memegang teguh pandangan superficial. Mahasiswa itu citra Gandhi.
Gandhi, bukan Machiavelli !
Memilih untuk menyelesaikan masalah tanpa kekerasan bukan berarti takut. Hal itu juga bukan berarti bahwa kita tidak jantan. Apalagi pengecut. Nir-kekerasan dalam meresolusi sebuah konflik adalah sebuah jalan yang dipilih, pilihan terbaik seorang beradab, pilihan mahasiswa yang benar-benar menggunakan nalarnya. Ketika nalar dan sifat beradab dikedepankan dan kekerasan ditinggalkan, maka kita sebenarnya tidak hanya sedang menyelesaikan masalah, tapi juga showing them who we are. Kita berhasil menunjukkan beberapa hal secara simultan. Mereka tidak hanya tahu bahwa kita menolak mereka, tapi juga menunjukkan bahwa kita adalah mahluk yang beradab, yang bisa membedakan mana solusi dan mana masalah baru, dan inilah yang dilakukan Gandhi.
Gandhi bukanlah penakut maupun pengecut. Ia adalah pahlawan dunia. Apa yang diajarkannya pada rakyat India untuk melawan penjajah Inggris dengan ahimsa (melawan tanpa kekerasan) adalah sumbangan besar bagi peradaban dunia. Bahwa sebuah masalah bisa diselesaikan dengan ahimsa adalah sebuah realitas, bukan sekedar omongan mahasiswa yang hanya sekedar berteori dan tidak mau melakukan aksi di tataran praksis. Dan benarlah Gandhi dalam hal ini. Rakyat India telah mengalami social change yang dahsyat berkat ahimsa. Gandhi dengan ajaran yang demikian benar-benar menjadikannya seorang ksatria mulia berpedangkan nalar sejati.
Ya, Gandhi, bukan Machiavelli yang mestinya dijadikan panutan gerakan kemahasiswaan membela dan memperjuangkan rakyat. Sekali lagi, Gandhi, bukan Machiavelli. Viva Mahasiswa!