Masih tentang pak Hari.....
Pak Hari dan Oxford University
Menurut saya, pak Hari adalah orang yang sangat tajam hafalannya dan kemampuan berbahasanya luar biasa. Ia tahu banyak bahasa Latin, Jerman dan Belanda. Bahasa Arab pun beliau bisa, walaupun penguasaanya bersifat pasif. Seringkali pak Hari menulis istilah linguistik di papan menggunakan bahasa Arab. Di kelas, murid-muridnya kadang diminta menerjemahkan frasa dari satu bahasa ke bahasa yang lain. Yang tidak bisa, diberi hadiah istimewa, yakni nasehat agar lebih tekun dan giat memberi perhatian ke frasa-frasa terkenal nan penting di berbagai bahasa. Bagaimana dengan bahasa Inggris beliau? Ah, saya tidak bisa menjelaskan dengan angka TOEFL, atau skor IELTS, yang jelas satu hal yang pernah beliau dapat karena kemampuan bahasa Inggrisnya itu: Beasiswa ke Oxford University, yang (sayangnya) pada akhirnya ia tolak.
Pak Hari adalah satu-satunya orang yang terpilih untuk beasiswa itu dan sebelumnya mengalahkan puluhan saingannya. Niai beliau saat itu yang tertinggi. Saat bercerita, pak Hari tersenyum, bercampur tawa. Senyum itu saya artikan bahagia, nampak tak ada rasa penyesalan sedikitpun di wajah beliau yang sedang sumringah itu.
“Bapak gag nyesal?” pertanyaan saya. “Saya tak menyesal karena alasan saya adalah jelas, kepentingan keluarga”. Keingintahuan saya bertambah, dan saya pun memberanikan diri untuk bertanya lebih lanjut, “Skema beasiswanya tidak boleh membawa keluarga ya pak? Beliau tak menjawab langsung. Namun malah bercerita kalau saat itu beliau mempunyai dua anak, dan gaji menjadi dosen di UI tidaklah mencukupi untuk menghidupi keluarganya. Pak Hari berfikir, seandainya ia menerima beasiswa itu, dan pergi ke Inggris Raya, siapa yang akan menghidupi istri dan anaknya dan bagaimana pendidikan mereka. Seingat saya, tahun-tahun itu adalah tahun penting. Entah sebelum atau sesudah masa ini, gencar sekali para pengajar UI yang pergi belajar ke luar negeri, entah ke negeri kincir angin atau ke tempatnya paman Sam. Anton Moeliono misalnya yang merupakan kakak kelasnya di UI, beliau studi ke USA. “Seandainya saya jadi di Oxford, saya hari ini tidak mengajar kalian”. Beliau tertawa lebar bersama kami di laboratorium leksikologi dan leksikografi. Sebelum sesi kelas berakhir, saya membuat pernyataan yang agag nyeleneh, “Ah, bapak sudah membuat panitia beasiswa itu kecewa dan marah,”. Pak Hari tertawa tambah lebar sambil menjawab, “mungkin...”.
Pak Hari dan Linguistik Arab
Satu hal yang paling saya suka dari pak hari saat mengajar: selalu ada sesi breaking ice di awal dan sesi tanya bebas di akhir. Pak Hari selalu memberi mahasiswanya waktu untuk bertanya, bertanya apapun yang berkaitan dengan bahasa. Bukan saja bertanya malah, mahasiswanya boleh bercerita tentang peristiwa dan pengetahuan kebahasaan. Nah, kebetulan di buku pak Hari ada pembagian kata benda (nomina) menjadi takrif dan non takrif. Ini kesempatan buat saya untuk ngomong linguistik Arab.
S: Terkait pembagian nomina ini, apa bapak terkena pengaruh linguistik Arab?
H: Saya tidak tahu malah. Apa itu istilah dari linguistik Arab? (sambil tersenyum)
S: Iya pak, ini istilah dari bahasa Arab. Nomina dibagi menjadi dua, Takrif yang diistilahkan Ism Ma’rifat dan Non takrif yang diistilahkan Ism Nakiroh. Yang pertama adalah kata benda khusus, yang kedua adalah umum. Kelas kata dalam bahasa Arab secara tradisional memang masih dibagi tiga, namun sudah ada pendapat lain. Adalah Tammam Husein, salah seorang linguis Arab berkebangsaan Mesir yang belajar ilmu bahasa modern di University of London, langsung dari gurunya Halliday. Tammam inilah yang mengklasifikasi kelas kata dalam bahasanya menjadi tujuh, namun ditolak dan kurang dianggap oleh masyarakat bahasa Arab. Banyak yang beranggapan kalau teori Tammam adalah pengaruh tradisi keilmuan Barat, terutama soal teori kelas kata dan fonetiknya.
Pak Hari melanjutkan obrolan soal kitab induk grammar Arab yang menurutnya bukanlah dibuat oleh orang Arab. Bagi beliau, orang Persia bernama Sibawaihi lah yang manjadi rujukan tata bahasa Arab. Beliau punya kitab itu, kecil, berwarna merah, namun karena ada pembangunan di UI, gedung tempat pak Hari di pindah dan sekarang tidak diketahui lagi dimana kitab itu.
Saya pun menimpali, “Saya tahu kitab itu pak. Ada di rumah, di Kudus,”.
Lebih lanjut, saya bercerita ke pak Hari panjang lebar.
S: Kakak saya yang mengajar di Pesantren adalah orang pertama yang mengenalkan kitab itu ke saya. Kitab itu memang tidak begitu tebal, tapi isinya singkat nan padat. Bagi kebanyakan orang, strukturnya susah dipahami dan karenanya untuk memahami grammatika Arab orang lebih memilih kitab-kitab lain yang memberi penjelasan kita Sibawaihi itu. Sibawaihi ini memang orang Persia, dan dari namanya saja kelihatan. Namanya kira-kira adalah gabungan dua kata, Sib dan Waih yang kalau diartikan adalah apel merah. Seingat saya, beliau dikenal karena pipinya yang berwarna merah.
Saya pun menambahkan keterangan soal tradisi grammatika di Pesantren di Jawa. Statemen yang saya berikan ke pak Hari kala itusangat jelas,: Mereka sangat kuat. Santri di Jawa adalah mereka yang sangat kuat dalam hafalan dan cerdas dalam tata bahasa. Sejak awal, mereka diajari shorof dan nahwu, semacam fonetik-fonologi-morfologi-sintaksis. Cara belajarnya pun unik, lewat syi’ir dan nadzom-nadzom yang biasanya mereka hafal. Mereka dari awal didik untuk memahami bahasa Arab dalam taraf tulis, dalam bentuk teks yang menuntut ketelitian dan kejelian dalam mendekonstruksi (mengurai) susunan bahasa yang dibuat sang mushonnif kitab.
H: Shohib masih bisa (re:kitab)?
S: Masih pak....
Beliau tertarik dengan penjelasan yang saya sampaikan. Keterangan apapun yang diceritakan ke beliau pasti didengarkan dengan seksama karena keingintahuan beliau memang tinggi.
(Bersambung ke bagian 3).